Dataran Merdeka Berselawat 2013
Isnin, 7 November 2011
Selasa, 1 November 2011
361 Hadis Pilihan - Sayyid Muhammad Al-Haddar
361 Hadis Pilihan - Sayyid Muhammad Al-Haddar
Risalah kecil ini berisi sejumlah hadis Nabi saw dan terjemahnya yang disusun secara alfabetik dari alif hingga ya. Kumpulan hadis ini diambil dari kitab al-Jami ash-Shaghir.
Jumlahnya yang 361 hadits seolah-oleh meminta kita untuk menghafalkannya sehari 1 hadits, sehingga tepat 1 tahun (360-an hari) kita tuntas menghatamkannya.
Imam al-Ghozali
Terjemah dan Penjelasan Bidayatul Hidayah – Karya Imam al-Ghozali
Kitab “Bidayatul Hidayah” karya ulama besar Abu Hamid Muhammad al-Ghazali ini banyak disebut-sebut sebagai Mukadimah Ihya Ulumuddin, karya masterpiece beliau yang sangat monumental itu.
Kitab ini membahas proses awal seorang hamba mendapatkan hidayah dari Allah Ta’ala, dimana sang hamba sangat membutuhkan pertolongan dan bimbingan dari-Nya. Juga menjelaskan seputar halangan maupun rintangan yang tersebar di sekitarnya, yaitu ketika sang hamba berusaha untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta, melalui tata cara dan adab yang benar.
Kitab ini secara garis besar berisi tiga bagian. Yakni, Bagian tentang adab-adab ketaatan, bagian tentang meninggalkan maksiat, dan bagian tentang bergaul dengan manusia, Sang Maha Pencipta, dan sesama makhluk. Menurut al-Ghazali, jika hati kita condong dan ingin mengamalkan apa-apa yang ada di buku ini, maka berarti kita termasuk seorang hamba yang disinari oleh Allah dengan cahaya iman di dalam hati.
Isnin, 31 Oktober 2011
Ulama Betawi
ULAMA BETAWI
ULAMA BETAWI
Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20
Oleh: Ahmad Fadli HS, M.Si.
Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press
Harga: Rp. 35.000,-
Betawi kerapkali dijadikan bahan kajian dan diskusi yang menarik dari dulu hingga kini, karena diskursus mengenai Betawi mengandung estetika tersendiri. Topiknya pun beraneka warna dan selalu aktual serta faktual bahkan terkadang kontroversial, seperti kajian sosial politik dan kebudayaan Betawi.
Kendati demikian, corak keislaman dan sejarah sosial intelektual Islam di Betawi belum banyak dikaji, karena perhatian baru difokuskan kepada sejarah sosial, politik, keseniaan dan kebudayaan serta kepurbakalaan. Padahal sejarah sosial intelektual Islam di Betawi telah memiliki peran yang signifikan dalam perubahan di masyarakat Betawi. Para pelaku sejarah intelektual Islam di Betawi adalah para ulama Betawi pada abad ke 19 dan 20 yang menimba ilmu di Timur Tengah selama bertahun-tahun.
Setelah mereka menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan Madinah, sebagian besar mereka kembali ke Betawi. Di sinilah mereka menjadi penyebar utama tradisi intelektual keagamaan Islam di Makkah dan Madinah ke Betawi.
Penelitian ini mencoba menelusuri jaringan ulama Betawi yang belajar langsung kepada ulama Timur Tengah pada abad ke-19 dan 20 serta upaya transmisi keagamaan di Betawi. Kajian ini mencoba mengembangkan teori Azyumardi Azra dan Martin van Bruinessen tentang adanya keterkaitan intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah dan Madinah dan upaya reformasi yang dilakukan sekembalinya mereka ke tanah air. Perbedaan hanya terletak pada dimensi ruang dan waktu.
Penelitian ini juga mencoba menelusuri perkembangan Islam di Betawi mulai masa Jayakarta hingga Batavia dan menelusuri corak keberagamaan Islam di Betawi. Terlepas dari perdebatan asal usul komunitas etnis Betawi, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Betawi memiliki ketaatan yang fanatik terhadap ajaran Islam dan perasaan anti Barat yang kuat. Kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 itu dapat disebabkan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi terkemuka yang telah berhasil dalam memberikan pemahaman tentang Islam.
Islam dan Betawi merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan sebutan “Betawi” hanya bisa digunakan oleh penduduk asli Jakarta yang beragama Islam. Sedangkan penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen secara turun temurun biasanya disebut dengan daerah asalnya, seperti penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen yang diduga keturunan Mardijkers di daerah Tugu Jakarta Utara disebut orang Tugu dan penduduk asli beragama Kristen di daerah Depok disebut orang Depok atau Belanda Depok. Penduduk asli Batavia saat itu kerapkali menyebut dirinya dengan Orang Selam yang agaknya merupakan pengucapan setempat untuk Islam. sebagaimana Srani untuk kata “Nasrani”.
Hamka menemukan bukti tentang kuatnya orang Betawi memegang agama Islam. Selama 350 tahun dijajah Belanda tetapi jarang sekali terdengar anak Betawi yang masuk Kristen. Kendati orang Betawi hidup dalam kemiskinan dan kekurangan ilmu pengetahuan tetapi jika masuk Kristen adalah aib sekali. Hal itu menolak teori bahwa kemiskinan mudah menjadi kafir. Segala sesuatu telah diderita oleh orang Betawi kecuali menjadi kafir.
Ridwan Saidi berpendapat bahwa Islam memberi makna eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era penjajahan Belanda. Zikir, ratib, pembacaan manakib Syaikh Saman, maulid Barjanji serta Diba. Semuanya merupakan ekpresi pengagungan pada Asma Allah sekaligus pernyataan diri isyhadû bi annâ muslimûn (saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam). Suatu ekpresi teologis yang nyaris sepi dari politik, kendati demikian penjajah Belanda dibuat tidak berkutik.
Persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi’i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Oleh karenanya dapat dipahami bila organisasi Islam modernis dan Organisasi Islam yang berfaham Wahabi kurang mengakar di kalangan masyarakat Betawi karena organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan TBC (tahayul, bid’ah dan khurafat). Kecaman tersebut dalam banyak hal tertuju pada budaya dan tradisi Betawi yang dalam beberapa hal bersentuhan dengan tahayul, bid’ah dan khurafat.
Deskripsi tentang kuatnya masyarakat Betawi dalam memegang teguh ajaran Islam dikarenakan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi terkemuka dalam memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Ulama-ulama Betawi tersebut memiliki jaringan keilmuan di Timur Tengah karena menimba ilmu di beberapa negara Timur Tengah sehingga mereka melakukan penyebaran keislaman di Nusantara terutama di Betawi.
Azra mengungkapkan bahwa penyebaran keilmuan Islam di Nusantara sampai abad ke-19 bersumber dari ulama yang terlibat jaringan intelektual dengan ulama Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah (Haramain). Penulis berkeinginan untuk mengembangkan teori yang telah dikemukakan oleh Azra tersebut.
Keilmuan Islam yang berlangsung di pusat dunia Islam (Haramain) saat itu memiliki karakteristik yang jelas, yaitu gagasan pembaharuan sebagai rekontruksi sosio-moral masyarakat Muslim. Pembaharuan ini menekankan pada ketaatan terhadap syariat atas tasawuf dari Masyarkat Muslim. Penerimaan ulama Haramain terhadap tasawuf kala itu adalah tasawuf yang telah diperbaharui dan sejalan dengan tuntutan syari’at sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Ghazali.
Penyebaran pembaharuan keilmuan Islam di Betawi abad ke-19 dan 20 merupakan proses penerusan ulama Nusantara yang memiliki hubungan intelektual dengan ulama Makkah abad sebelumnya. Mereka telah menjalin hubungan erat dengan sejumlah tokoh penting di pusat keilmuan Makkah. Keterlibatan ulama Nusantara dalam jaringan ulama Haramain dimulai pada paruh kedua abad ke-17 yang dimulai oleh Nuruddin ar-Raniri (w. 1069 H/1658 M), Abdur Rauf Singkel (1035-1105 H/1615-1693 M) dan Yusuf al-Maqassari (1626-1699). Kemudian disusul oleh ulama abad ke-18 yaitu Abdul Shomad al-Palimbani (1704-1788), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), Dawud bin Abdullah al-Fatani (1718-1847), Muhammad Nafis al-Banjari (1735-1812) dan Abdurrahman al-Mashri al-Batawi.
Pembaharuan keagamaan secara langsung dari Makkah ke Betawi telah terjadi pada abad ke-19 dan 20. Bahkan pada abad ke-18 sudah ada ulama Betawi yang bernama Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi yang menimba ilmu di Makkah. Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah teman karib Abdul Shamad Al-Palimbani dari Sumatera Selatan (1116/1704-1203/1789) dan Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122/1710-1227/1812) dari Kalimantan Selatan. Kendati informasi mengenai Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi ini sangat minim, tetapi peran dan kiprahnya menunjukkan bahwa dia terlibat aktif secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama terpenting di Nusantara pada abad ke 18.
Sebelum kembali ke Betawi, karena merasa belum mendapat pengetahuan yang memadai, Abdurahman Al-Batawi bersama dengan Muhammad Arsyad dan Abdul Shamad meminta idzin kepada gurunya, ‘Atha’ Allah Al-Mashri untuk menambah pengetahuan di Kairo. Kendati menghargai niat baik mereka, ‘Atha’ Allah menyarankan agar mereka lebih baik kembali ke Nusantara sebab mereka sudah dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup dan dapat mereka manfaatkan untuk mengajar di tanah air mereka. Mereka tetap memutuskan pergi ke Kairo tetapi hanya untuk berkunjung bukan untuk belajar. Mungkin sebagai tanda hubungan baik mereka dengan ‘Atha’ Allah dan kunjungan mereka ke Kairo sehingga Abdurahman Al-Batawi menambahkan laqab “Al-Mashri” pada namanya.
Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi bersama Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Al-Bugisi kembali ke Nusantara pada 1186/1773. Sebelum ke Banjarmasin, atas permintaan Al-Batawi, Muhammad Arsyad tinggal di Batavia selama dua bulan. Kendati dia tinggal di Batavia hanya untuk waktu yang relatif singkat tetapi dia mampu melakukan pembaruan penting bagi kaum Muslim di Batavia. Beberapa masjid di Batavia dibetulkan arah kiblatnya. Menurut perhitungannya, kiblat masjid-masjid di Jembatan Lima (Masjid Kampung Sawah/Masjid Al-Mansur) dan Pekojan, tidak diarahkan secara benar menuju Ka’bah dan karenanya harus dirubah. Kontroversipun bermunculan di kalangan para pemimpin muslim di Batavia sehingga gubernur jenderal Belanda memanggil Muhammad Arsyad untuk mengklarifikasi masalah itu. Muhammad Arsyad menjelaskan perhitungan secara matematis sehingga membuat gubernur terkesan dan memberikan hadiah kepadanya. Di kemudian hari, pembetulan arah kiblat itu juga diusulkan Abdurahman Al-Batawi di Palembang ketika dia mengadakan perjalanan ke sana sekitar tahun 1800 yang juga menimbulkan kontroversi di sana.
Ulama-ulama Betawi pada abad ke 19 pasca Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah Syaikh Junaedi Al-Batawi. Menurut C. Snouck Hurgronje, di Makkah pada perempatan ketiga abad ke 19 ada “sesepuh” (nestor) para profesor Jawi yang berasal dari Betawi yang bernama Junaed yang sudah menetap selama 50 tahun. Ketika berkunjung ke Makkah—menurut Hurgronje—ia telah melakukan kajian-kajian mendalam di negeri asalnya tetapi tidak pernah kembali ke negerinya. Jika Junaed sudah tiba di Makkah 50 tahun yang lalu, maka berarti ia sudah tiba di Makkah di awal abad ke 19 M. Junaed memiliki banyak murid di antaranya adalah KH. Mujtaba bin Ahmad atau dikenal dengan Guru Mujtaba. Jika Guru Mujtaba akhirnya kembali ke Betawi pada 1904, Syaikh Junaed Al-Batawi tetap tinggal di sana. Khabarnya Junaed meninggal dunia di tanah suci akhir abad ke 19. Kendati tidak diketahui tanggal yang pasti mengenai wafatnya, Junaed telah mendidik murid-muridnya asal Betawi menjadi ulama-ulama besar. Sayang sekali sampai sekarang tidak diketahui di mana anak dan keturunan Junaed berada sekarang.
Ulama Betawi berikutnya adalah Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya (1822-1914). Ayahnya adalah Sayyid Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syaikh Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi.
Sayyid Usman pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji kemudian belajar di sana selama 7 tahun. Dia belajar kepada ayahnya dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah. Pada tahun 1848 Sayyid Usman berangkat ke Hadramaut dan menimba ilmu kepada Syaikh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri dan Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar. Untuk memperdalam bermacam-macam ilmu, dia belajar juga ke Mesir, Tunis, Al Jazair, Istambul, Persia dan Syiria.
Di antara karya Sayyid Usman yang terpenting adalah Tawdih al-Adillat ‘ala Syurûth Syuhud al-Ahillat. Latar belakang kitab ini adalah karena pada tahun 1882 umat Islam di Jakarta terbagi dua dalam menentukan awal puasa Ramadhan. Sebagian mulai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian mulai puasa pada hari Senin. Banyak karya-karya Sayyid Usman yang masih dibaca oleh masyarakat Betawi, di antaranya adalah Sifat Dua Puluh. Karena keilmuan Sayyid Usman yang memadai maka diangkatlah dia menjadi mufti Betawi oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Di antara murid Sayyid Usman adalah KH Abdul Muhgni Kuningan atau biasa dipanggil Guru Mugni (1860-1935). Guru Mugni terhitung ulama yang paling terkemuka di wilayah Selatan. Dalam usia 16 tahun, ia dikirim ayahnya menuntut ilmu di Makkah dan bermukim di sana selama 9 tahun. Di sana Guru Mugni berguru kepada banyak ulama, antara lain Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadrami, Syaikh Sa’id Al-Yamani, Syaikh Ali Al-Maliki, Syaikh Abdul Karim Al-Dagestani, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan Syaikh Muhammad Umar Syatha.
Selama di tanah suci, ia berteman dengan sejumlah orang Betawi yang kelak menjadi ulama Besar, seperti KH. Marzuqi (Guru Marzuqi) yang telah menerima ijazah tarekat Al-Alawiyah dari Muhammad Umar Syatha. Guru Mughni memiliki banyak murid yang telah menjadi ulama besar, di antaranya adalah Guru Abdul Rahman Pondok Pinang, KH. Mughni Lenteng Agung, Guru Naim Cipete, KH Hamim dan KH Raisin Cipete, Guru Ilyas Karet dan Guru Ismail Pedurenan (dipanggil Guru Mael, mertua KH Ahmad Junaidi Menteng Atas).
Ulama Betawi terkemuka lainnya adalah Habib Ali Abdurrahman Al-Habsy (1869-1968). Habib Ali ditinggal wafat ayahnya, Habib Abdurrahman ketika ia berusia 12 tahun. Ayahnya berwasiat kepada istrinya, Nyai Salmah—seorang putri Betawi asli yang berasal dari Mester Pulo (Jatinegara sekarang)—agar Habib Ali dikirim belajar ke Hadramaut dan Makkah. Habib Ali akhirnya diberangkatkan ke Hadramaut ketika umurnya masih 12 tahun. Di Hadramaut Habib Ali berguru kepada Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Habib Abdurahman bin Muhammad Al-Masyhur dan lain sebagainya. Setelah kembali dari Hadramaut dan Makkah, Habib Ali kembali ke Indonesia dan menetap di Jakarta bersama ibunya, Nyai Salmah.
Sejak masih berusia 20-an tahun Habib Ali mendirikan majelis taklim. Sebelum di Kwitang, majelisnya berlangsung di Tanah Abang. Ia kemudian mendirikan Masjid Al-Riyadh di Kwitang dan di dekatnya didirikan Madarasah ‘Unwanul Falah’.
Banyak ulama Betawi yang merupakan murid dari Habib Ali dan dididik di Madrasah ‘Unwanul Falah yang menerapkan sistem pendidikan modern. Di antara muridnya yang sangat tekun mengikuti dan menjadi pembicara di majelisnya adalah adalah KH Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Fathullah Harun (1913-1989) dan KH Tohir Rohili (1920-1999). Habib Ali pun mempersaudarakan mereka bertiga dengan putranya, Habib Muhammad Al-Habsyi. Dari KH. Abdullah Syafi’i dan KH. Tohir Rohili berdiri dan berkembang pesat majelis taklim As-Syafi’iyah dan At-Tahiriyah. Sedangkan KH. Fathullah Harun menjadi ulama Betawi ternama di Malaysia.
Hubungan antara Habib Ali dengan murid-muridnya cukup menarik dan romantis. Pada saat pemilu 1955, Habib Ali kendati tidak memperlihatkan berpihak pada salah satu partai dan tidak pernah mengemukakan pilihannya pada orang lain tetapi ia lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Ketika NU mengadakan Muktamar di Gedung Olahraga Lapangan Ikada (Monas) Jakarta, Habib Ali diminta membaca doa. Ia juga banyak memiliki murid-murid orang-orang NU, termasuk Ketua Umumnya saat itu, KH Idham Khalid yang kerapkali datang ke masjidnya.
Murid-murid Habib Ali yang lain KH. Ahmad Thabrani Paseban (1901-1985), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH. Muhammad Na'im Cipete (1912-1973), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH. Zayadi Muhajir (1918-1994), KH. Muhajirin (1921-2003), KH. Abdul Rasyid Ramli (1922-2006), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami (1931-2006), KH. Nahrawi Abdul Salam (1931-1999), KH. Abdurrazaq Makmun, KH. Ismail dan lain sebagainya.
Ulama Betawi dari wilayah Timur yang paling berpengaruh adalah KH Ahmad Marzuqi yang akrab dipanggil Guru Marzuqi (1293-1352 H/1876-1934 M). Ayahnya bernama Ahmad Mirshad adalah keturunan keempat dari Sultan Laksana Melayang, salah seorang Pangeran dari kesultanan Melayu Pattani di Muangthai Selatan. Ketika berusia 16 tahun, Marzuqi berangkat ke Makkah dan menetap di sana selama tujuh tahun. Di Makkah ia menimba ilmu kepada ulama terkemuka seperti Syaikh Ali al-Maliki, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Umar Sumbawa, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan banyak lagi. Guru Marzuqi di Makkah juga mendalami tasawuf dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-Alawiyah dari Syaikh Muhammad Umar Syatha yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan.
Setelah kembali ke Betawi, ia diminta oleh Sayid Usman Banahsan untuk mengajar di masjid Rawabangke (Rawa Bunga) selama lima tahun kemudian pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah Guru Marzuqi merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Di antara para murid-muridnya yang kelak menjadi ulama besar adalah KH Abdul Jalil Tambun, KH. Muhammad Amin Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Tambih Bekasi (1907-1977), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH Muhtar Thabrani Kaliabang Bekasi (1912-1971), KH. Muhammad Na’im Cipete (1912-1973)), KH Abdullah Syafi’i Kampung Bali Matraman, KH Nur Ali Bekasi (1913-1992) dan KH Aspas Cilincing. Di antara putera Guru Marzuqi yang melajutkan perjuangannya adalah KH Abdul Malik (Guru Malik), KH Muhammad Baqir Rawabangke, KH Abdul Mu’thi Buaran Bekasi dan KH Abdul Ghofur Jatibening Bekasi.
Dari pusat kota Jakarta tepatnya di Kampung Sawah Jembatan Lima muncul ulama Betawi terkemuka yang bernama KH. Muhammad Mansur atau akrab dipanggil Guru Mansur (1878-1967). Ia dan Guru Mughni disebut oleh masyarakat Betawi sebagai “Paku Jakarta” Hal ini membuktikan bahwa keulamaan dan ketokohan mereka tidak diragukan lagi.
Guru Mansur lahir pada tahun 1878 di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta Barat yang dahulu masih termasuk kawasan hunian orang-orang asal Kepulauan Banda. Ayahnya bernama KH Abdul Hamid bin Damiri bin Imam Habib bin Abdul Muhit bin Pangeran Tjakra Jaya (Tumenggung Mataram). Abdul Muhit adalah orang alim yang membangun Masjid Kuno di Kampung Sawah pada tahun 1717 M (sekarang bernama Masjid Al-Mansur). Guru Mansur merupakan keponakan dari Syaikh Junaid Al- Batawi karena KH. Abdul Hamid, ayah Guru Mansur adalah adik kandung Syaikh Junaid Al-Batawi. Guru Mansur pertama kali belajar agama kepada ayahnya dan sesudah ayahnya meninggal, ia belajar dari kakak kandungnya KH Mahbub bin Abdul Hamid dan kakak misannya yang bernama KH Thabrani bin Abdul Mugni. Selain kepada mereka, Guru Mansur juga pernah belajar kepada seorang ulama dari Meester Cornelis (Jatinegara) bernama H. Mujtaba bin Ahmad. Di Makkah ia juga memperdalam ilmunya dengan Tuan Guru Umar Sumbawa yang kelak mengangkatnya sebagai Katib (sekretaris) karena tertarik pada tulisan Guru Mansur yang rapi.
Setelah menimba ilmu di Makkah selama empat tahun, Guru Mansur kembali ke tanah air melalui beberapa negara yang disinggahinya, seperti Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaya dan Singapura. Setelah sampai di tanah air, Guru Mansur membantu ayahnya mengajar di madrasah Kampung Sawah (sekarang Chairiyah Mansuriyah). Mulai tahun 1907, ia mengajar di Jamiatul Khair bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Ahmad Surkati dan KH Ahmad Dahlan.
Rasa nasionalisme Guru Mansur tidak diragukan lagi. Hal ini terbukti ketika Jakarta berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda pada tahun 1948, Guru Mansur terpaksa harus berurusan dengan Hoofd Bureau Kepolisian Gambir karena ulahnya yang memasang bendera merah putih di menara Masjid Kampung Sawah. Kendati Guru Mansur berada di bawah ancaman senjata Nica, ia tetap mempertahankan bendera merah putih tetap berkibar di menara mesjid itu. Guru Mansur pun berujar “Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”.
Selama hidupnya, Guru Mansur telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, di antaranya Sullamun nairain, Khulâsatul jadawil, Kaifiyatul amal ijtima, khusûf wal kusûf dan lain sebagainnya. Di antara murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama adalah KH. Muhammad Amin Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Radjiun Kebon Sirih (1916-1982) yang pernah menjadi ketua Masjid Pekojan dan KH Muhammad yang mendalami ilmu Falaq dan kemudian diangkat menantu dan meneruskan usaha mertuanya mengembangkan Madrasah Al-Mansuriyyah (yang masih berdiri hingga kini). Ahli falaq lain didikannya yang cukup berhasil adalah KH Muhajirin Amsar Ad-Dary (1921-2003), Pimpinan Perguruan Islam An-Nida, Bekasi.
Masih banyak para ulama Betawi yang memiliki jaringan ulama ke Makkah, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti KH. Mahmud Ramli Menteng (1866-1959), KH. Ahmad Kholid Gondangdia (1874-1946), KH. Abdul Madjid Pekojan (1887-1947), KH. Najihun (1897-1984), KH. Muhammad Amin (1901-1965), KH. Ahmad Thabrani (1901-1985), KH. Muhammad Tambih (1907-1977), KH. Ali Alhamidi (1909-1985), KH. Abdul Hadi (1909-1998), KH. Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Muchtar Thabrani (1912-1971), KH. Muhammad Na'im (1912-1973), KH. Nur Ali Bekasi (1913-1992), KH. Hasbiyallah (1913-1982), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH. Fathullah Harun (1913-1989), KH. Mursyidi Klender (1915-2003), KH. Muhammad Radjiun (1916-1982), KH. Zayadi Muhajir Klender (1918-1994), KH. Thohir Rohili Bukit Duri (1920-1999), KH. Muhadjirin Amsar Ad-Dary (1921-2003), KH. Abdul Rasyid Ramli (1922-2006), KH. Abdul Hannan Sa’id (1923-2000), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami (1931-2006) dan Dr. KH. Ahmad Nahrawi Abdul Salam Al-Indunisi (1931-1999) yang akan diuraikan biografinya dalam bab tersendiri di buku ini.
Ulama-ulama Betawi yang disebutkan di atas adalah ulama terkemuka dari Betawi yang pernah menetap dan menuntut ilmu di Timur Tengah terutama di Makkah dan Madinah pada abad ke 19 dan 20 atau berguru kepada Ulama Betawi yang pernah menuntut ilmu di Timur Tengah sehingga pantas diperkirakan bahwa ada jaringan ulama Betawi yang meneruskan pembaharuan keagamaan ulama Timur Tengah dengan kitab-kitab karya mereka. Kitab-kitab kuning yang dikarang oleh ulama Betawi atau yang diajarkan oleh ulama Betawi kepada para murid-muridnya mencerminkan bagaimana ulama Betawi berhubungan dengan tradisi ulama Timur Tengah. Muatan muatan kitab kuning tersebut mengkaitkan pada tradisi ortodoks (klasik) universal yaitu aqidah Al-Asy’ari, fiqih As-Syafi’i dan tasawuf Al-Ghazali.
Fenomena ulama Betawi yang belajar di Timur Tengah pada abad ke-19 dan ke-20 membuktikan bahwa teori Azra dan Martin van Bruinessen tentang adanya hubungan ulama Makkah dan Nusantara juga terjadi di Betawi. Sehingga dirasa penting melakukan penelitian untuk menggungkapkan jaringan ulama Betawi yang belajar di Makkah serta bagaimana subtansi pengajaran pembaharuan yang disebarkan pada abad ke-19 dan ke-20.
Resensi diambil dari: http://www.pmii.or.id/produk-a-kreatif/buku/225-ulama-betawi-studi-tentang-jaringan-ulama-betawi-dan-kontribusinya-terhadap-perkembangan-islam-abad-ke-19-dan-20.html
Beramal dengan Hadits Daif
Beramal dengan Hadits Dla'if
Beramal dengan Hadits Dla'if
Oleh: Abu Abdillah
Penerbit: Pustaka Ta'awun
Tebal: 178 + xi hal.
Harga: Rp. 25.000,-
Ketika para ulama hadits menilai sebuah hadits sebagai dla'if, ini berarti bahwa penelitian mereka tidak sampai pada kesimpulan bahwa hadits tersebut maudlu'. Sehingga komentar -dengan nada meremehkan- yang sering dilontarkan oleh sebagian kalangan dalam perdebatan tentang masalah-masalah tertentu dengan mengatakan : "Hadits-nya dla'if (lemah)" tanpa melihat masalah apa yang dibicarakan, ini adalah tindakan gegabah. Sebab mayoritas para ulama hadits dan ahli hadits membolehkan beramal dengan hadits dla'if dalam Fadla-il al A'mal dan semacamnya.
Tulisan ini secara argumentatif dan didukung dengan data-data dan penegasan langsung para ahlul Fann; para huffazh dan ahli hadits dari karya-karya induk dalam ilmu hadits, sampai pada kesimpulan bahwa beramal dengan hadits dla'if dengan syarat-syaratnya adalah pendapat mayoritas para ulama dan ahli hadits, ini adalah fakta ilmiyah yang tidak bisa dipungkiri.
Pada bagian ke dua tulisan ini diturunkan beberapa contoh hadits dla'if yang diamalkan oleh para ulama dalam Fadla-il al A'mal, sehingga lebih memudahkan untuk memahami kaedah dan teori yang dijelaskan pada bagian pertama.
Jumaat, 21 Oktober 2011
Kitab: al-Muqaddimah al-Kubra
Kitab: al-Muqaddimah al-Kubra
Data ringkas kitab:
Judul: al-Muqaddimah al-Kubra
(المقدمة الكبرى)
Kategori: Usuluddin/Tauhid
Pengarang/Penterjemah: al-‘Allamah al-‘Arifbillah Syaikh Ismail bin ‘Abdullah al-Minankabawi al-Khalidi al-Naqsyabandi
Jumlah halaman: 180 halaman
Tarikh selesai diterjemah: 1269H/1852M
(المقدمة الكبرى)
Kategori: Usuluddin/Tauhid
Pengarang/Penterjemah: al-‘Allamah al-‘Arifbillah Syaikh Ismail bin ‘Abdullah al-Minankabawi al-Khalidi al-Naqsyabandi
Jumlah halaman: 180 halaman
Tarikh selesai diterjemah: 1269H/1852M
Kitab ini adalah sebuah kitab tauhid atau usuluddin yang diterjemah oleh al-‘Allamah al-‘Arifbillah Syaikh Ismail bin Abdullah al-Minankabawi al-Khalidi al-Naqsyabandi [wafat di Mekah pada tahun 1280H/1863M]. Beliau adalah seorang musyid thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah.
Kitab ini judul sempurnanya adalah Al-Muqaddimah al-Kubra allati Tafarra’at minha al-Nuskhah al-Shughra (المقدمة الكبرى التي تفرعت منها النسخة الصغرى), tanpa tarikh. Pada bahagian akhir kitab hanya terdapat tahun selesai penyalinan naskhah pada hari Selasa, sesudah sembahyang Zohor pada 15 Jamadilawal 1305H di Mekah al-Musyarrafah oleh `Abdus Shamad Kelantan.
Kandungannya membahas ilmu akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah secara mendalam. Beliau banyak mengutip perbahasan dari kitab-kitab syarah kepada kitab Ummu Barahin karya Imam Sanusi. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Amiriyah, Bulaq, Mesir, tertulis di halaman depan dinyatakan tahun 1309 Hijrah, dan di halaman akhir dinyatakan Rabiulakhir 1310 Hijrah. Pada halaman akhir itu juga dicatat sebagai penjual ialah Syeikh Abdullah al-Baz di Kampung Babus Salam, Mekah.
Di bahagian tepi kitab Al-Muqaddimatul Kubra dicetak kitab berjudul Muqaddimatul Mubtadin oleh pengarang yang sama. Muqaddimatul Mubtadin, diselesaikan pada hari Rabu 15 Safar, sesudah sembahyang Zohor, tanpa menyebut tahun. Kandungannya membahas ilmu aqidah di dalam bentuk soal-jawab secara ringkas tetapi padat.
Kitab: Matla’ al-Badrain wa Majma’ al-Bahrain
Kitab: Matla’ al-Badrain wa Majma’ al-Bahrain
Data ringkas kitab:
Judul: Matla’ al-Badrain wa Majma’ al-Bahrain (Tempat terbit dua bulan purnama dan tempat berhimpun dua laut)
Kategori: Fiqih
Pengarang: al-‘Allamah Syaikh Muhammad bin Ismail Daudi al-Fathani @ Syaikh Nik Mat Kecik (wafat di Mekah tahun 1333H/1914M)
Pengarang: al-‘Allamah Syaikh Muhammad bin Ismail Daudi al-Fathani @ Syaikh Nik Mat Kecik (wafat di Mekah tahun 1333H/1914M)
Tarikh selesai dikarang: 12 Sya’ban 1303H/16 Mei 1886M
Merupakan antara kitab fiqih yang paling terkenal di Tanah Melayu. Ditulis oleh al-’Alim al-’Allamah Syaikh Wan Muhammad bin Wan Ismail bin Wan Ahmad bin Wan Idris bin Wan Tih bin Syaikh Wan Senik al-Karisiqi al-Fathani. Atau dikenali juga dengan nama Syaikh Muhammad bin Ismail Daudi al-Fathani atau Muhammad Shaghir al-Fathani (di kalangan orang ‘arab) atau Syaikh Nik Mat Kecik al-Fathani dikalangan orang Melayu di Mekah. Beliau adalah cucu saudara kepada al-‘Alim al-‘Allamah Syaikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathani.
Kitab ini pernah dijadikan teks pengajian ilmu fiqih sekolah-sekolah agama di negeri Johor. Oleh kerana kitab ini terlalu banyak dipergunakan, maka kerajaan Johor menganjurkan penyusunan sebuah kamus yang khusus mengenai kitab ini. Maka tersusunlah sebuah kamus dengan judul Suluh Mathla’ul Badrain oleh Haji Abdul Ghani Yahya, antara murid kepada Tok Kenali. Di tulis di Johor Baharu pada 1 Oktober 1941M. Kamus ini khusus terjemahan kosa kata Arab ke dalam bahasa Melayu, maka dapat membantu pelajar dalam memahami perkataan-perkataan atau istilah-istilah yang terdapat didalam kitab Matla’ al-Badrain. Hanya Mathla’ al-Badrain kitab Melayu/Jawi yang ditulis kamus.
Kitab Mathla’ al-Badrain wa Majma’ al-Bahrain, selesai ditulis pada 12 Syaaban 1303H/1885M. Cetakan pertama dan keduanya tidak ditashihkan, maka keduanya ternyata banyak kesalahan sususan kalimatnya yang dilakukan oleh pihak pencetak. Manakala cetakan ketiga dan keempat telah ditashih oleh al-‘Allamah Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani.
Jika diteliti, model penulisan Mathla’ al-Badrain dari pelbagai aspek, dapat diklasifikasikan sebagai penulisan klasik ilmiah. Contohnya, pada banyak tempat digunakan nota kaki, istilah orang Melayu zaman dulu dinamakan ‘dhabit’. Akhir setiap sesuatu dhabit ada yang digunakan istilah ‘Muallif’ maksudnya ‘pengarang’. Pada konteks Mathla’ al-Badrain maksudnya ialah Syaikh Nik Mat Kecik. Pada tempat lain digunakan istilah ‘Mushahhihahu’, maksudnya ‘pentashihnya’. Pada konteks Mathla’ al-Badrain maksudnya ialah Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Pada setiap penghabisan dhabit, Syaikh Nik Mat Kecik menyebut nama kitab yang beliau rujuk. Kitab Melayu/Jawi yang disebut ialah Sabil al-Muhtadin, tetapi Sabil al-Muhtadin hanya disebut pada ibadat. Kitab Arab lain seperti Fath al-Wahhab, Bujairimi ‘ala Fath al-Wahhab.
Di antara kitab yang menjadi rujukan pengarang ketika mengarang kitab ini adalah:
- Fath al-Wahhab bi Syarh Minhaj at-Thullab oleh Syaikhul Islam Abi Yahya Zakaria al-Anshari
- I’anah at-Tholibin oleh Sayyid Abu Bakr ibn Muhammad Syata ad-Dimyati, yang masyhur dengan nama Sayyid al-Bakri Syata
- Bujairimi ‘ala Khatib oleh Syaikh Sulaiman al-Bujairimi
- Mughni al-Muhtaj oleh Syaikh Muhammad ibn Ahmad asy-Syarbini al-Khatib
- As-Siraj al-Wahhaj Syarh ‘ala Matn Minhaj oleh Syaikh Muhammad az-Zahri al-Ghamrawi
- Hasyiah al-Bajuri oleh Syaikh Ibrahim al-Bajuri
- Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad
Kitab Matla’ al-Badrain telah dirumikan dan diterbitkan oleh Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan (Jabatan Perdana Menteri) pada tahun 1413H/1993. Ianya telah disusun semula dan menggunakan bahasa yang moden dan mudah supaya senang difahami. Tajuk-tajuknya pula diasingkan dengan perenggan-perenggan dan fasal-fasal yang bernombor serta tajuk-tajuk ringkas ditepinya (nota birai) untuk kemudahan rujukan.
Menurut Tuan Haji Hasan bin Haji Ahmad (kini Dato’ dan menjawat sebagai mufti Pulau Pinang) pada kata alaun pentashih terjemahan [transliterasi] kitab Matla’ al-Badrain terbitan Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan:
Semasa saya mentashihkan draf akhir kitab ini, saya berpandukan pengalaman dan ilmu yang cetek yang ada pada saya serta merujuk kepada beberapa buah kitab yang mu’tabar, antaranya:
- Syeikh Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiah al-Bujairimi ‘ala al-Minhaj, 4 juzu’ (Misr: Maktabah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1369H/1950M)
- Syeikh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, 2 juzu’ (Surabaya/S’pura: Sulaiman Mara’i, t.t)
- Al-Qalyubi dan Umairah. Hasyiyatain ‘ala Syarh Jalaliddin al-Mahallai ‘ala Minhaj at-Talibin. 4 juzu’. (Misr: Maktabah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1375H/1956M)
- Muhammad asy-Syarbini al-Khatib. Iqna’ fi Halli Alfaz Abi Syuja’ (S’pura: Maktabah Sulaiman Mara’i, t.t)
Daripada rujukan-rujukan yang dibuat, jelas bahawa Pengarang (Musannif) asal kitab ini memetik dan menterjemahkannya daripada beberapa buah kitab yang mu’tabar sepertimana yang diakui sendiri oleh beliau di bahagian muqaddimahnya,maka nilai kitab ini [kitab Matla’ al-Badrain wa Majma’ al-Bahrain] juga adalah mu’tabar.
Dato’ Syaikh Zakaria bin Haji Ahmad Wan Besar, seorang ahli jawatankuasa Majlis Fatwa Negeri Kedah Darul Aman, telah menulis kitab bertajuk Matla’ al-NurainUntuk Menghuraikan ‘Ibarat Kitab Matla’ al-Badrain. Dimana kitab ini memudahkan ‘ibarat yang kusut dan uslub yang payah didalam kitab Matla’ al-Badrain, yang tidak dapat difahami maksudnya oleh kebanyakkan generasi kini. Begitu juga Pejabat Mufti Negeri Selangor Darul Ehsan, menerbitkan kitab Tahqiq Matla’ al-Badrain.
Kitab ini juga bukan sekadar masyhur di Tanah Melayu tetapi juga di Negara Brunei Darussalam. Ini dapat dilihat pada ucapan di Majlis Muzakarah Pengkursus Ibadat Haji Kali Ke-13 Bagi Musim Haji 1427H/2006M (pada hari Selasa, 12/7/2006 Di Maktab Perguruan Ugama Seri Begawan) oleh Setiausaha Tetap Kementerian Hal Ehwal Ugama Negera Brunei Darus Salam:
Kitab yang sudah menjadi pegangan kita di Negara Brunei Darussalam di dalam menunaikan rukun Islam, yang juga menjadi amalan dan pegangan Ahli Sunnah Wal-Jamaah ialah Kitab Mathla’ul Badrain yang mana sebahagian permasalahan dalam kitab tersebut telah dipermudahcarakan untuk membaca dan memahaminya melalui beberapa siri dalam Kitab Zainut Thalib iaitu hasil usaha dan gubahan Yang Berhormat Pehin Jawatan Luar Pekerma Raja Dato Seri Utama Dr. Ustaz Haji Awang Mohd. Zain bin Haji Serudin, Menteri Hal Ehwal Ugama.
Walaupun usia kitab ini sudah menjangkau lebih dari 120 tahun, namun ianya masih tetap relevan dan terkehadapan untuk dijadikan panduan generasi kini di dalam bidang fiqih.
Review Buku: Hukum Wanita Bermusafir, karangan Muhammad Nuruddin Merbu Banjar al-Makki
Kredit Gambar: Jahabersa
Beberapa Petikan Dari Buku Ini:
A) Pengurniaan
Kepada semua wanita Muslimah yang menyahut seruan untuk mentaati segala perintah Allah SWT, menjauhkan segala laranganNya semata-mata mendapatkan kelebihanNya, kerahmatanNya, keampunanNya, kebaikanNya, kemaafanNya, dan syurgaNya.
Untuk Muslimah yang mengucapkan, “Selamat tinggallah kepada percampuran dengan lelaki ajnabi dan berhias-hias diri di hadapan khalayak. Nikmatnya berpakaian hijab, menjaga kehormatan dan sentiasa berasa malu.”
Selamat tinggallah kepada pakaian menjolok mata yang separuh telanjang, pakaian sempit lagi nipis. Nikmatnya berpakaian yang labuh dan berperhiasan Islamik.
Selamat tinggallah wahai orang yang mengajak kepada pembebasan wanita dan percampuran dengan lelaki ajnabi, mengajak kepada keburukan dan kerosakan kerana mereka tidak menginginkan kita melainkan hanya kesesatan, menyeleweng daripada usaha yang bersungguh-sungguh, menderhaka terhadap pengajaran Tuhan kita dan segala taujihat Nabi kita.
Mereka tidak menginginkan kita melainkan hanya sukakan melihat badan-badan yang telanjang, tempat-tempat fitnah yang mendorong kepada syahwat dan perlakuan dusta yang dibuat-buat.
Dan akhirnya, kepada wanita yang berkata, “Aku tidak akan mengorbankan kehidupanku, kebahagiaanku yang abadi dan harta bendaku dari Allah SWT pada hari kiamat dengan sesuatu harta benda dunia, hasil pendapatan yang terhad, hidup glamour yang palsu dengan kehidupan yang penuh kebebasan.”
Di manakah nilai kebahagian sekiranya akhirnya akan mendapat kebinasaan, kehinaan dan balasan azab antara timbunan nyalaan api.
Untuk semua mereka yang menghulurkan risalah ini kepada seseorang wanita semoga Allah SWT akan memanfaatkan perbuatannya dan memberikan hadiah pahala kepadaku kerana menyediakan risalah ini.
B) Pendahuluan
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Segala pujian hanya bagi Allah Tuhan sekalian alam. Balasan baik bagi orang-orang yang bertaqwa, tidak ada permusuhan melainkan hanya lepada orang-orang yang melakukan kezaliaman. Selawat dan kesajteraan lepada penghulu semua Nabi dan Rasul, iaitu Sayyidina Muhammad s.a.w. dan lepada ahli keluarganya, para Sabatina dan sesiapa sahaja yang mengikuti mereka dengan perlakuan yang baik sehingga tibanya hari kiamat.
Kemudian, pada bulan Ogos lepas pada tahun ini (1993 Masihi), kami telah mengadakan pertemuan ilmiah mengenai kitab yang bertajuk,
الجوهر المن فى زيارة قبر النبى المكرم
karangan al-’Allamah al-Faqih Ibnu Hajar al-Haitami di dalam Masjid al-Fatah yang terletak di bandar Nasr, Kaherah. Majlis itu dihadiri oleh sebahagian besar pelajar-pelajar dari Malaysia dan Indonesia.
الجوهر المن فى زيارة قبر النبى المكرم
karangan al-’Allamah al-Faqih Ibnu Hajar al-Haitami di dalam Masjid al-Fatah yang terletak di bandar Nasr, Kaherah. Majlis itu dihadiri oleh sebahagian besar pelajar-pelajar dari Malaysia dan Indonesia.
Sebahagian dari masalah yang difokuskan oleh pengarang dalam kitab ini adalah masalah wanita bermusafir untuk berziarah tanpa ada bersamanya mahramnya. Saya menjelaskannya bahawa musafir itu tidak dibolehkan menurut syara’. Ini adalah nas keterangannya (di dalam kitab karangan al-’Allamah al-Faqih Ibnu Hajar al-Haitami tersebut – peny. =malakian):
“Seseorang wanita diharamkan bermusafir kerana berziarah semata-mata melainkan ada bersamanya mahramnya atau suaminya. Begitu juga hambanya, sekalipun wanita itu dan hambanya itu hádala orang yang dipercayai. Wanita juga tidak diharuskan bermusafir hanya semata-mata bersama dengan wanita-wanita sahaja seperti semua jenis perjalanan yang bukan bertujuan wajib.”
Sebenarnya, apa yang menyebabkan pemikiran jadi terfokus dalam pertemuan ini dan di dalam pertemuan selanjutnya yang diadakan bersama dengan para relajar perempuan Malaysia di dewan Asrama Pelajar-Pelajar Kedah di Kaherah, permasalhan ini diletakkan di tempat yang paling penting di kalangan mereka yang sama-sama turut serta sama ada pelajar lelaki mahupun perempuan. Banyak persoalan dan permasalahan yang minta diterangkan adalah mengenai wanita bermusafir, di mana pendapat dan fatwa yang mengharamkan wanita bermusafir akan menyebabkan beberapa rehlah secara kumpulan – melancong dan bersuka-suka – yang diuruskan oleh Persekutuan Pelajar-Pelajar Melayu dan lainnya terpaksa dibatalkan.
Dalam pertemuan itu saya tidak berkesempatan melainkan saya tekankan kepada mereka mengenai hukum yang diperkatakan oleh pengarang kitab itu (iaitu kitab karangan al-’Allamah al-Faqih Ibnu Hajar al-Haitami tersebut – peny. =malakian) adalah benar. Beberapa buah hadith sahih sememangnya thabit daripada Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh sebilangan para Sahabat r.a. terhadap larangan seseorang wanita bermusafir di sebuah perjalanan dalam jarak tertentu. Dalam sebahagian riwayat, ianya menyebutkan secara mutlaq melainkan wanita itu ada bersamanya suaminya atau mahramnya.
Juga, saya katakan lepada mereka bahawa sebaik-baik wanita adalah mereka yang tidak pernah melihat lelaki ajnabi dan lelaki ajnabi tidak pernah memandang mereka. Untuk diketahui, rehlah seperti ini lebih-lebih lagi jika terdapat percampuran antara lelaki ajnabi dan perempuan ajnabiah akan mengundang lepada fitnah dan tergoda dengannya.
Sayyidina ‘Ali berkata,
“Adakah kamu tidak berasa malu? Adakah kamu tidak berasa cemburu? Salah seorang daripada kamu membiarkan isterinya keluar di kalangan para lelaki ajnabi. Dia melihat lepada mereka dan mereka melihat kepadanya.”
Dari Ibnu Mas’ud dari Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud,
“Bahawa seseorang wanita itu dianggap sebagai aurat. Apabila seseorang wanita keluar dari rumahnya, syaitan akan melihat-lihat kepadanya. Apa yang terlebih hampir dalam kerahmatan Tuhannya adalah seseorang wanita sentiasa berada dalam rumah yang paling tertutup.”
(Diriwayatkan oleh al-Tirmidhi dan al-Bazzar).
(Diriwayatkan oleh al-Tirmidhi dan al-Bazzar).
Mengenai permasalahan ini, semasa mengadakan perhimpunan Persatuan Keluarga Kalimantan di Mesir yang dilaksanakan pada 28 Oktober, 1993 Masihi ketika membincangkan tajuk Rehlah Berkumpulan bagi sesebuah anggota keluarga, saya telah meminta izan kepada pengerusi majlis untuk turut sama memberikan pendapat dari segi hukum syara’ tentang seseorang wanita turut serta dalam rehlah seperti ini.
Bagi Allah segala pujian dan pemberian. Para hadirin yang turut serta dalam perhimpunan tersebut mula menunjukkan raksi yang positif. Mereka mendapat kefahaman yang penuh perasaan terhadap tajuk itu, seterusnya satu ketentuan telah ditetapkan bahawa seseorang pelajar wanita tidak dibenarkan turut serta dalam rehlah ini melainkan ada bersamanya suaminya atau mahramnya menurut syara’.
Supaya perbincangan itu jelas kepada semua hadirin, berasa mudah untuk merujuk kembali kepada sesiapa sahaja yang hendak mengambil sebarang faedah dan mengetahui hukum syara’ mengenai tajuk ini, saya memberikan rízala ini yang mengandungi pendahuluan, pembentangan, tujuh perbahasan dan penutup kepada saya turut memberikan saham untuk menyelesaikan permasalahan ini dalam matlamat menyebarkan pemeliharaan Islam terhadap orang Islam kerana sebahagian besar daripada ujian yang menimpa kepada orang Islam masa kini adalah sifat kejahilan terhadap hukum-hukum agamanya dan pengajaran Islam mereka. Sekiranya mereka mengetahui masalah agama mereka, mereka tidak akan terjerumus ke dalam kebanyakan perkara terlarang dan tegahan, perkara yang merosakkan dan memusnahkan.
Ya Allah! Saya memohon semoga Allah memanfaatkan risalah ini, menjadikan usaha saya menyediakan risalah ini semata-mata ikhlaskan kepada Zat Allah Yang Maha Mulia, semata-mata untuk mendekatkan diri saya kepada kelebihanNya dalam syurga yang penuh kenikmatan – melaui kerahmatanMu Ya Allah Tuhan Yang Maha Mengasihani, Ya Allah Tuhan Yang Maha Penyayang.
Allah sentiasa berselawat dan memberikan kesejahteraan kepada Nabi yang lebih mulia, kepada ahli keluarganya dan para Sahabat. Dan segala pujian hanya untuk Allah Tuhan sekalian alam.
Kaherah, 9 November, 1993 Masihi Bersamaan 24 Jamidil Awal 1414 Hijrah.
Hasil tulisan:
Al-Faqir Muhammad Nuruddin Merbu Banjar al-Makki.
Al-Faqir Muhammad Nuruddin Merbu Banjar al-Makki.
C) Antara hadith-hadith yang dibincangkan oleh Shaykh Nuruddin al-Banjari al-Makki:
1. “Seorang lelaki ajnabi tidak boleh berdua-duaan dengan seorang wanita ajanabiah kecuali ada bersama wanita itu lelaki yang diharamkan berkahwin. Seorang wanita itu tidak boleh bermusafir kecuali ada bersamanya lelaki yang diharamkan berkahwin.” Seorang lelaki berdiri dan bertanya, “Ya Rasulullah! Isteriku telah keluar rumah kerana sesuatu keperluan, sementara semasa itu aku dihantar dalam peperangan bhagian-bahagian.” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Pergilah dan kerjakanlah haji bersama dengan isterimu.”
(Hadith dipersetujui bersama oleh al-Imam al-Bukhari dan Imam Muslim).
(Hadith dipersetujui bersama oleh al-Imam al-Bukhari dan Imam Muslim).
2. Dari Ibnu Umar r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Seseorang wanita itu tidak boleh bermusafir selama tiga hari kecuali ada bersamanya lelaki yang diharamkan berkahwin”.
(Hadith Riwayat Imam Muslim).
(Hadith Riwayat Imam Muslim).
3. Dari Ibnu Umar r.a. dari Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidak halal bagi seseorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat bermusafir sepanjang perjalanan tiga batu kecuali ada bersamanya lelaki yang diharamkan berkahwin.”
(Hadith Riwayat Imam Muslim).
(Hadith Riwayat Imam Muslim).
4. Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Seseorang wanita itu dilarang bermusafir sepanjang perjalanan dua hari kecuali ada bersamanya suaminya, atau lelaki yang diharamkan berkahwin.”
(Muttafaq ‘Alaih, iaitu hadith yang dipersetujui bersama oleh al-Imam al-Bukahri dan Imam Muslim).
(Muttafaq ‘Alaih, iaitu hadith yang dipersetujui bersama oleh al-Imam al-Bukahri dan Imam Muslim).
5. Dari Ibnu Umar r.a. juga beliau berkata, Rasululah s.a.w. bersabda, “Seseorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat itu tidak dihalalkan bermusafir dalam satu perjalanan yang keadaan jauhnya 3 hari dan lebih jauh lagi kecuali ada bersamanya bapanya atau anaknya atau suaminya atau saudara lelakinya atau lelaki yang diharamkan berkahwin daripadanya.”
(Hadith Riwayat Jama‘ah kecuali Imam al-Bukhari).
(Hadith Riwayat Jama‘ah kecuali Imam al-Bukhari).
D) Antara fatwa-fatwa ‘ulama’ muktabar yang dibincangkan oleh Shaykh Nuruddin al-Banjari al-Makki:
1. Sheikh al-Islam Abdullah al-Syarqawi berkata di dalam kitabnya حاشية الشرقاوي jilid 1 halaman 519, “Adapun seseorang wanita bermusafir kerana bukan mengerjakan haji fardhu seperti haji sunat, atau mengerjakan mura, maka pekerjaan itu diharamkan, sekalipun beliau bermusafir bersama-sama wanita-wanita lain semata-mata, sekalipun perjalanan permusafiran itu dalam jarak yang dekat, dan sekalipun diizinkan oleh suaminya. Seseorang wanita tidak diharuskan keluar bermusafir melewati batasan sempadan bandar tempat tinggalnya, sekalipun perjalanannya itu bersama dengan wanita-wanita yang dipercayai, atau dengan keizinan suaminya. Suaminya atau mahramnya atau hambanya (dengan beberapa syarat bermusafir bersama-sama dengan wanita itu. Apa yang berlaku sekarang ini, seseorang wanita keluar bermusafir menziarahi maqam-maqam yang terletak di luar batasan sempadan bandar tempat tinggalnya. Perbuatan itu dianggap sebagai maksiat dan wanita itu wajib ditegah daripada meneruskan perbuatannya itu.”
Tambahan: Menurut penerangan Shaykh Nuruddin, terdapat beberapa pendapat tentang kewajiban wanita menunaikan haji sekalipun tanpa mahramnya. Pertama, suatu kelompok ‘ulama’ menganggap, wanita yang tidak mempunyai mahram tidak mempunyai kemampuan sebagaimana yang diterangkan di dalam (Surah Ali ‘Imran: 97) Manakala sekelompok ‘ulama’ lagi mengharuskan wanita menunaikan haji tanpa mahram dengan hanya bersama sekelompok wanita yang dipercayai atau seorang hamba yang dipercayai. Dalam pentarjihan beliau, beliau cenderung memilih pendapat kelompok ‘ulama’ yang pertama.
2. Al-Qadhi Iyadh berkata, “Para ‘ulama’ bersepakat mengatakan seseorang wanita tidak dibolehkan keluar bermusafir kerana mengerjakan pekerjaan selain daripada pekerjaan haji dan mura kecuali ada bersamanya mahramnya. Seseorang wanita itu boleh keluar bermusafir jira berhijrah dari negara kafir.” (Lihat شرح النووى kepada صحيح الإمام مسلم jilid 5 halaman 104).
3. Di dalam kitab القرى halaman 70, “Semua ‘ulama’ tidak bercanggah pendapat mengenai seseorang wanita tidak dibolehkan keluar rumah bermusafir selain daripada mengerjakan pekerjaan fardhu kecuali ada bersamanya mahramnya. Tetapi, sekiranya seorang wanita kafir masuk Islam di negara kafir, wanita itu boleh keluar rumah bermusafir dari negaranya.”
4. Al-‘Allamah al-Zaqarni berkata, “Tempat perselisihan para ‘ulama’ seperti disebutkan hádala pada masalah mengerjakan haji fardhu. Sekiranya seseorang wanita itu hendak mengerjakan haji sunat, maka beliau tidak dibolehkan keluar rumah bermusafir kecuali ada bersamanya mahramnya atau suaminya. Beginilah penyelesaian mengenai masalah ini dan masalah wanita bermusafir untuk mengerjakan pekerjaan yang diharuskan sebagaimana yang dimaksudkan oleh hadith-hadith yang melarang seseorang wanita keluar rumah tanpa ada bersamanya mahramnya.” (Kitab شرح الزرقانى kepada الموطاء).
Biodata Muhammad Nuruddin Marbu al-Banjari al-Makki
Al-Fadhil Sheikh Muhammad Nuruddin Bin Haji Marbu Bin Abdullah Thayyib dilahirkan pada 1 September 1960M di desa Harus, Amuntai, Banjar Masin, Kalimantan Selatan, Indonesia. Beliau anak yang ketiga dari tujuh bersaudara, dari sebuah keluarga yang taat beragama. Beliau sekeluarga telah berhijrah ke tanah suci Makkah Al-Mukarramah pada tahun 1974 dan beliau meneruskan pengajiannya di Madrasah Shaulathiyah sehingga tahun 1982. Diantaranya guru-gurunya di Makkah termasuklah ulama’-ulama’ ternama seperti Sheikh Ismail Utsman Zain Al-Yamani, Sheikh Mohammad Yasin Al-Fadani serta Sheikh Hassan Mashshath. Pada tahun 1983 beliau telah melanjutkan pengajiannya ke Mesir di Universiti al-Azhar, Kaherah dalam jurusan Syariah hingga mendapat gelaran Sarjana Muda. Kemudian beliau meneruskan lagi pengajiannya di Ma’had ‘Ali Liddirasat Al-Islamiah di Zamalek sehingga memperolehi Diploma ‘Am “Dirasat ‘Ulya” pada tahun 1990.
Setelah menamatkan pengajian di Universiti Al-Azhar beliau menumpukan perhatiannya untuk mencurahkan ilmunya kepada ribuan para pelajar yang datang dari Asia Tenggara termasuk Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand yang menuntut di Universiti Al-Azhar, sehingga beliau mendapat gelaran al Azharus Tsani (“Universiti Al-Azhar Kedua”), suatu gelaran yang terhormat dan tulus dari masyarakat Universiti Al-Azhar sendiri.
Antara keistimewaan Sheikh Nuruddin ialah beliau mewarisi metodologi pengajian berasaskan sanad ataupun silsilah.
Sebagai contoh, hadits-hadits yang dipelajari beliau sampai silsilah periwayatannya sehingga kepada Rasulullah SAW. Kitab-kitab ulama’ muktabar yang dipelajari beliau sampai silsilahnya kepada pengarang asal kitab-kitab tersebut ini seperti Imam As-Shafie, Imam As-Sayuti, Imam Nawawi dan lain-lain lagi. Di sinilah ketulinan dan keberkatan ilmu Sheikh Nuruddin.
Di samping mengajar beliau juga menghasilkan kitab-kitab agama berbahasa Arab dalam pelbagai bidang yang banyak tersebar luas di Timur Tengah dan juga di negara Malaysia. Semenjak mula mengarang kitab ‘Permasalahan Haid, Nifas & Istihadhah’ pada tahun 1991, beliau telah mengarang, mentahqiq serta mensyarahkan tidak kurang dari 50 buah kitab. Beberapa kitab beliau kini telah digunakan sebagai sumber rujukan dibeberapa buah pusat pengajian tinggi termasuk kitab beliau dalam jurusan Qawa’id Fiqhiyyah yang kini digunakan sebagai salah satu dari teks rujukan di Kuliyyah Syari’ah, Universiti Malaya, Kuala Lumpur.
Dari tahun 1998 – 2001, beliau telah mencurahkan tenaga dan masa untuk membimbing para pelajar di Maahad ‘Ali Littafaqquh Fiddin, Madrasah Tarbiah Islamiah, Derang, Kedah, dan pada pertengahan tahun 2004 beliau telah mengasaskan Ma’had Az-Zein Al- Makki Al-Ali Littafaqquh Fiddien di Bogor, Jawa Barat Indonesia dan kini beliau merupakan Sheikhul Ma’had pesantren tersebut. Para pelajar di Ma’had Az-Zein adalah merupakan pelajar-pelajar yang terpilih dari beberapa buah pesantren di seluruh Indonesia khususnya dari daerah Banjar Masin yang terkenal dengan kelahiran ramai tokoh ulama’ yang ternama. Kini hasil dari usaha dan bimbingan Sheikh Nuruddin, 5 buah kitab telah berjaya diterjemahkan dan diterbitkan sepenuhnya oleh para pelajar dari Ma’had Az-Zein.
Kini beliau giat berulang-alik ke Banjar Masin setiap bulan dalam siri pengajian dan diskusi tetap beliau, disamping sessi pengajian yang sama di Malaysia serta Mesir.
(Kredit diberikan terhadap blog Abu Anis di atas biodata ini).
(Kredit diberikan terhadap blog Abu Anis di atas biodata ini).
Biodata ini juga boleh didapati pada buku-buku keluaran Ma’had Az-Zein Al- Makki Al-Ali Littafaqquh Fiddien di Bogor, Jawa Barat Indonesia, contohnya pada buku yang bertajuk Mereka Yang Mendapat Syafa‘at Rasulullah yang merupakan buku terjemahan daripada sebuah buku berbahasa Arab karangan beliau yang bertajuk هؤلاء حلت لهم شفاعة الحبيب المصطفى
Untuk mendapatkan buku-buku beliau yang lain (selain daripada buku Hukum Wanita Bermusafir terbitan Jahabersa), boleh menghubungi Halaqah Resources, 9, Jalan Nova U5/75A, Subang Bestari, 40150 Shah Alam, Selangor Darul Ehsan.
Email: halaqah.resources@gmail.com. Atau dapatkan buku-buku beliau ketika beliau memberikan kuliah-kuliah agama di Malaysia. Sila rujuk di sini untuk mengetahui jadual kuliah agama beliau. Dijangkakan, beliau akan memberi kuliah agama yang seterusnya di Malaysia pada 4-8/8/2006.
Email: halaqah.resources@gmail.com. Atau dapatkan buku-buku beliau ketika beliau memberikan kuliah-kuliah agama di Malaysia. Sila rujuk di sini untuk mengetahui jadual kuliah agama beliau. Dijangkakan, beliau akan memberi kuliah agama yang seterusnya di Malaysia pada 4-8/8/2006.
Langgan:
Catatan (Atom)